Jumat, 11 Februari 2011

Skripsi hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi pada pasien menarik diri di polik jiwa Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi dan persaingan bebas sekarang ini, kecenderungan terhadap peningkatan gangguan jiwa semakin besar hal ini disebabkan karena stressor dalam kehidupan semakin kompleks. Sejalan dengan hal ini kemampuan sumber daya manusia yang berkualitas sangat diharapkan untuk dapat mengatasi hal tersebut, baik di lingkungan pendidikan keperawatan maupun pelayanan, baik formal maupun informal (Suliswati, 2005).
Keperawatan jiwa sebagai bagian dari kesehatan jiwa merupakan suatu bidang spesialisasi praktek keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri sendiri sebagai kiatnya. Secara konseptual teori keperawatan juga mengungkapkan bahwa pelayanan keperawatan diberikan secara kompherensif, berkesinambungan dan utuh pada individu, keluarga serta masyarakat (Suliswati, 2005).
Kesehatan berdasarkan defenisi Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization) adalah keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan ataupun cacat. Pengertian kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik intelektual, emosi dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain (UU Kesehatan Jiwa, 1996).
Menurut WHO pada tahun 2020 diperkirakan 70% lebih banyak penyakit menular, kesehatan mental dan cidera. Laporan WHO menyebutkan satu dari empat orang kehidupannya dapat beresiko menderita gangguan jiwa (Maramis, 2005).
Kesehatan Jiwa merupakan suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain (Siti Saidah, 2003).
Keluarga yang membentuk unit dasar dari masyarakat kita, maka lembaga sosial yang paling banyak memiliki efek-efek yang paling menonjol terhadap anggotanya. Unit dasar ini memiliki pengaruh yang begitu kuat terhadap perkembangan seorang individu yang dapat menentukan berhasil tidaknya kehidupan individu tersebut (Marilyn M. Friedman, 1998).
Keluarga memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam menentukan perilaku anggota keluarganya yang sakit, bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan akan sangat berkurang (Caplan, 1998).
Keluarga juga sebagai sumber dukungan sosial dapat menjadi faktor kunci dalam penyembuhan klien penderita gangguan jiwa. Walaupun anggota keluarga tidak selalu merupakan sumber positif dalam kesehatan jiwa, mereka paling sering menjadi bagian penting dalam penyembuhan. Perawat harus mendorong anggota keluarga untuk terus mendukung klien walaupun di Rumah Sakit dan harus mengidentifikasi kekuatan keluarga seperti cinta dan perhatian sebagai sumber bagi klien (Sheila dkk, 2008).
Walaupun manusia dalam kondisi yang sehat selalu berupaya agar hubungannya dengan orang lain dapat terjalin secara harmonis oleh suatu kondisi tertentu hubungan ini dapat mengalami gangguan. Klien dengan gangguan jiwa sering gagal mendapatkan kebutuhan sosialnya oleh karena ketidakmampuan klien hidup dalam kelompoknya atau klien gagal beradaptasi, serta gagal menerima diri sendiri sehingga diupayakan berbagai macam terapi yang bertujuan untuk menyembuhkan atau mengembalikan keadaan klien pada kehidupan sosialnya (Keliat, 2006).
Keluarga sangat berperan dalam pemulihan dan penyembuhan klien, apabila dukungan keluarga kurang maka pemulihan dan penyembuhan akan berjalan lambat. Donal F Sitompul juga mengungkapkan, kesembuhan pasien secara total kecil kemungkinan, tapi dapat berkurang tergantung perhatian keluarga secara serius membantu penyembuhan. Untuk pasien sembuh total, tidak pernah ada di RSJ, karena pasien yang datang ke RSJ, setelah lama mengalami gejala strees, bahkan terkait kondisi pasien RSJ, Donald mengatakan keprihatinannya, karena banyak pasien yang tak pernah dikunjungi keluarga, setelah dicek ternyata ada keluarga dengan alamat palsu dan pindah rumah, bahkan ada keluarga yang tidak mau mengakui pasien sebagai keluarganya (Harian Sinar Indonesia, 2009).
Menurut Mujiyono (2008), dukungan keluarga selama ini kurang pada anggota keluarga yang sedang sakit diakibatkan keluarga yang terlalu sibuk dengan urusannya maing-masing, acuh tak acuh karena kurang mengerti dengan penyakit yang dialami klien serta yang paling penting yaitu ekonomi yang rendah, yang mengakibatkan klien merasa diabaikan dan kurang mendapatkan perhatian keluarga., sehingga untuk kembali pulih pada keadaan semula sangat lambat dan membutuhkan waktu yang lama. Wesbrook (1984) mengatakan bahwa orang-orang dengan status sosial ekonomi rendah, kurang aktif dan lebih fatalistis atau respon menolak bila dibandingkan orang yang mempunyai status sosial ekonomi tinggi.
Menurut Garson Numberi dengan penelitiannya, yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Abepura – Jayapura jumlah pasien gangguan jiwa pada tahun 2007 adalah 446 penderita dan pada tahun 2008 adalah 481 pederita dan kekambuhan pasien rata-rat semakin meningkat. Peran serta dan dukungan dari keluarga dalam perawatan pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit dan di rumah belum dirasakan manfaatnya, sehingga kekambuhan pasien akan menunjukkan angka yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pasien gangguan jiwa memliki kecenderungan kekambuhan sehinga harus mengalami perawatan kembali di RS dan juga disebabkan karena kurangnya kunjungan dari keluarga pasien dan peran serta keluarga unuk kekambuhan pasien gangguan jiwa (Numberi Garson, 2009).

Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan merupakan salah satu rumah sakit Jiwa di Sulawsi Selatan. Berdasarkan rekapitulasi pasien gangguan Jiwa pada tahun 2008 jumlah keseluruhan yaitu 10.567 pasien, dengan jumlah kunjungan keluarga yang paling sering dikunjungi adalah sebanyak 3254 (30,7%), yang jarang dikunjungi adalah sebanyak 3322(31,4%) dan yang tidak pernah dikunjungi adalah sebanyak 3691(34,9%). Sedangkan untuk tahun 2009 jumlah pasien keseluruhan yaitu sebanyak 11.835, dengan jumlah kunjungan keluarga yang paling sering dikunjungi adalah sebanyak 3170 (26,7%), yang jarang dikunjungi adalah sebanyak 4111 (34,7%) dan yang tidak pernah dikunjungi adalah sebanyak 4554 (38,4%). Pada tahun 2010 triwulan jumlah keseluruhan pasien yaitu 3612, dengan jumlah kunjungan keluarga yang paling sering dikunjungi adalah sebanyak 1009 (27,93%), yang jarang dikunjungi adalah sebanyak 852 (23,64%), dan yang tidak pernah dikunjungi adalah sebanyak 1749 (48,42%).
Berdasarkan uraian di atas, ini menunjukkan kurangnya motivasi dan dukungan keluarga dalam kemampuan sosialisasi pasien gangguan jiwa untuk tahun 2008 – 2009 dan untuk 2010 triwulan, sehingga jumlah pasien dirawat semakin meningkat dan hari rawat semakin lama. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi pada pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Adakah Hubungan Antara Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan Sosialisasi Pada Pasien Menarik Diri Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi pada pasien menarik diri di polik jiwa Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya hubungan antara perhatian keluarga dengan kemampuan sosialisasi pasien menarik diri.
b. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan keluarga dengan kemampuan sosialisasi pasien menarik diri.
c. Diketahuinya hubungan antara sosial ekonomi keluarga dengan kemampuan sosialisasi pasien menarik diri.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instiitusi Rumah Sakit
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi bagi pihak Rumah Sakit sehingga dapat meningkatkan asuhan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan keluarganya.

2. Bagi Perawat
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan ilmu bagi perawat dalam meningkatkan kemampuan untuk memberikan asuhan keperawatan profesional khususnya bagi pasien gangguan jiwa (menarik diri).
3. Bagi Peneliti
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah pengalaman, wawasan, dan ilmu pengeetahuan serta dapat mengetahui tentang seberapa besar dukungan keluarga pada pasien gangguan jiwa khususnya pasien menarik diri.
4. Bagi Keluarga
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi sehingga keluarga dapat meningkatkan dukungannya pada anggota keluarga yang sakit.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan umum tentang keluarga
1. Pengertian keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami-istri dan anaknya. Yang berada dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Suprajitno,2004).
Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama karena hubungan darah, hubungan perkawinan dengan keterikatan aturan dan emosional serta mempunyai peran masing-masing yang merupakan bagian dari keluarga (Marilyn Friedman,1998).
Keluarga sebagai unit utama dari masyarakat dan merupakan lembaga yang menyangkut kehidupan masyarakat, keluarga sebagai kelompok dapat menimbulkan, mencegah, mengabaikan atau memperbaiki masalah-masalah kesehatan dalam kelompoknya sendiri, masalah kesehatan dalam keluarga saling berkaitan, penyakit pada salah satu anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh anggota keluarga tersebut (Marilyn Friedman,1998).
Adanya suatu penyakit yang serius atau kronis pada diri seorang anggota keluarga biasanya memiliki pengaruh yang mendalam pada sistem keluarga khususnya pada struktur perannya dan pelaksanaan fungsi keluarga.
Keluarga memaiankan peranan yang bersifat mendukung anggota keluarganya yang sakit dalam masa tahap penyembuhan dan pemulihan. Apabila dukungan semacam itu tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan atau pemulihan (rehabilitasi) sangat kurang (Marilyn Friedman,1998).
2. Fungsi Keluarga menurut Friedman (1998)
a. Fungsi efektif
fungsi ini berhubungan dengan fungsi internal keluarga, dimana merupakan fungsi-fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga. Keberhasilan fungsi efekrif akan tampak melalui keluarga yang gembira dan bahagia. Anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, perasaan dimiliki, perasaan yang berarti dan merupakan sumber kasih sayang.
b. Fungsi sosial
Fungsi mengembangkan dan melatih anak untuk kehidupan sosial dan berhubungan dengan orang lain. Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung seumur hidup dimana individu secara kuntinue mengubah perilaku mereka sebagai respon terhadap situasi yang terpola secara sosial, yang mereka alami. Fungsi sosialisasi adalah proses interaksi dengan lingkungan sosial yang dimulai sejak lahir dan berakhir setelah meninggal. Anggota keluarga belajar disiplin, budaya, norma melalui interaksi dalam keluarga sehingga individu mampu berperan di masyarakat. Kegagalan bersosialisasi dalam keluarga, terutama jika norma dan perilaku yang dipelajari berbeda dengan yang ada di masyarakat dapat menimbulkan kegagalan bersosialisasi di masyarakat.
c. Fungsi reproduksi
Fungsi untuk mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keturunan keluarga dan menambah sumber daya manusia.
d. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi adalah fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Demikian pula jika keluarga mempunyai kemampuan merawat pasien di rumah akan mengurangi biaya perawatan dirumah sakit. Penghasilan keluarga akan berkurang dengan adanya anggota keluarga yang sakit (tidak produktif) ditambah anggota keluarga yang harus menemani atau merawat pasien (tidak produktif). Seluruh fungsi keluarga ini akan difasilitasi dalam mendukung perawatan pasien di rumah sakit dan setelah pulang ke rumah. Perlu dikaji siapa yang utama akan memberikan perawatan kepada pasien setelah pasien pulang dari rumah sakit. Pada penelitian di rumah sakit jiwa Lawang dan Menurut (Widodo, 2000) ditemukan bahwa anggota keluarga yang paling banyak merawat pasien adalah saudara kandung 62 orang dan orang tua 28 orang.
e. Fungsi perawatan keluarga
Keluarga memberikan perawatan kesehatan diatur, dilaksanakan, dan diamankan. Keluarga memberikan perawatan kesehatan yang bersifat preventif dan secara bersama-sama merawat anggota keluarga yang sakit. Lebih jauh keluarga mempunyai tanggung jawab yang utama untuk memulai dan mengkoordinasikan pelayanan yang diberikan oleh para professional perawatan kesehatan.
Apabila kebutuhan-kebutuhan psikologis anggota keluarga tidak dirasakan dan dikemukakan secara adekuat, maka konsekwensi yang biasa terjadi adalah munculnya gejala-gejala yang tidak jelas yaitu dalam bentuk sinyal-sinyal distress dari satu anggota keluarga atau lebih. Gejala disfungsi keluarga ini pada pembawa gejala keluarga meliputi berbagai respon emosional seperti marah, ansieatas dan depresi (Marilyn Friendman, 1998).
3. Elemen strutur keluarga (Caplan 1998)
a. Struktur peran keluarga, menggambarkan peran masing-masing anggota keluarga dalam keluarga sendiri dan perannya dilingkungan masyarakat atau peran formal dan informal.
b. Nilai atau norma keluarga, menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini oleh keluarga, khususnya yang berhubungan dengan kesehatan.
c. Pola komunikasi keluarga, menggambarkan bagaimana cara dan pola komunikasi orang tua (ayah-ibu), orang tua dan anak, anak dan anak, anggota keluarga lain dan anggota keluarga inti.
d. Struktur kekuatan keluarga, menggambarkan kemampuan anggota keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain untuk megubah perilaku keluarga yang mendukung kesehatan.
4. Peran serta keluarga dalam perawatan klien gangguan jiwa
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup merawatnya. Oleh karena itu asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya untuk memulihkan keadaan klien tetapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan dalam keluarga tersebut (Iyus Yosep, 2007).
Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku maladaptif (pencegahan sekunder) dan memulihkan perilaku adaptif (pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan klien dan keluarga dapat ditingkatkan secara optimal (keliat, 2005).
Sesuai dengan fungsinya, pemeliharaan kesehatan keluarga mempunyai tugas di bidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan yaitu :
a. Mengenal masalah kesehatan keluarga, kesehatan merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh diabaikan karena tanpa kesehatan segala sesuatu tidak akan berarti. Perubahan sekecil apapun yang dialami oleh anngota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian keluarga.
b. Memutuskan tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama, tindakan kesehatan yang dilakukan oleh keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi.
c. Merawat keluarga yang mengalami gangguan kesehatan, perawatan dapat dilakukan di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama.
d. Memodifikasi keluarga untuk menjamin kesehatan keluarga.
e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya bagi keluarga.
B. Tinjauan umum tentang kemampuan sosialisasi
1. Pengertian kemampuan sosialisasi
Kemampuan sosialisasi adalah merupakan kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam menjalani hubungan saling berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain. Manfaat berkomunikasi adalah untuk mendorong dan menganjurkan pasien agar dapat bekerja sama dan dapat mengungkap perasaannya (Abdul Hafizh, 2007).

2. Jenis-jenis komunikasi
a. Komunikasi Verbal
Jenis komunikasi yang paling lazim digunakan dalam pelayanan keperawatan di rumah sakit adalah pertukaran informasi secara verbal terutama pembicaraan dengan tatap muka. Komunikasi verbal biasanya lebih akurat dan tepat waktu. Kata-kata adalah alat atau simbol yang dipakai untuk mengekspresikan ide atau perasaan, membangkitkan respon emosional, atau menguraikan obyek, observasi dan ingatan. Sering juga untuk menyampaikan arti yang tersembunyi, dan menguji minat seseorang. Keuntungan komunikasi verbal dalam tatap muka yaitu memungkinkan tiap individu untuk berespon secara langsung.
b. Komunikasi Non Verbal
Komunikasi non-verbal adalah pemindahan pesan tanpa menggunakan kata-kata. Merupakan cara yang paling meyakinkan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Perawat perlu menyadari pesan verbal dan non-verbal yang disampaikan klien mulai dan saat pengkajian sampai evaluasi asuhan keperawatan, karena isyarat non verbal menambah arti terhadap pesan verbal (Tappen DKK, 1995).
3. Cara/trik berkomunikasi dengam pasien menarik diri
Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan tentang ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus terhadap topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja kacau balau. trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa khususnya pada pasien menarik diri yaitu sering melibatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama – sama, ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan pasien lain, beri penjelasan manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau berhubungan (Abdul Hafizh, 2007).
4. Penyebab kekambuhan pada pasien gangguan jiwa/Menarik Diri:
a. Tidak memakan obat secara teratur
b. Dosis obat tidak sesuai.
c. Keluarga banyak mengkritik.
d. Keluarga banyak mencampuri kehidupan pasien.
e. Sikap bermusuhan dari lingkungan.
5. Pengobatan yang biasa diterapkan
Pengobatan secara medis dilakukan guna menjaga kesehatan para pasien secara fisik. Sedangkan pengobatan yang dilakukan dengan cara non-medis ini dilakukan dengan cara pengobatan terapi. Didalam terapi peranan perawat dan keluarga merupakan faktor penting dalam proses penyembuhan para pasien gangguan jiwa. Hal ini disebabkan oleh faktor komunikasi yang lebih dominan dilakukan oleh para perawat di Rumah Sakit dan keluarga setelah kembali kerumah. Kegiatan pengobatan itu dimulai dengan interaksi kepada pasien untuk mencari bantuan psikologis dan perawat menyusun interaksi dengan mempergunakan dasar psikologis itu untuk membantu pasien dalam meningkatkan kemampuan meningkatkan diri dalam kehidupannya dengan mengubah pikiran, perasaan, dan tindakannya. Pesan psikoterapi dari perawatlah yang membawa pengaruh positif berupa ketenangan (bersifat dukungan) untuk kesembuhan pasien gangguan jiwa. Hasil yang ditimbulkan akibat suatu proses yang telah dilakukan oleh perawat diharapkan menimbulkan suatu akibat, efek, atau hasil yang terjadi pada penerima sesuai dengan keinginan sumber atau tujuan dari komunikasi psikoterapi itu sendiri.
C. Tinjauan umum tentang menarik diri
1. Pengertian menarik diri
Suatu sikap dimana individu menghindari diri dari interaksi dengan orang lain. Individu merasa bahwa ia kehilangan hubungan akrab dan tidak mempunyai kesempatan untuk membagi perasaan, pikiran, prestasi, atau kegagalan. Ia mempunyai kesulitan untuk berhubungan secara spontan dengan orang lain, yang dimanifestasikan dengan sikap memisahkan diri, tidak ada perhatian, dan tidak sanggup membagi pengamatan dengan orang lain (Balitbangda, 2007).
Kerusakan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seseorang berpartisipasi dalam pertukaran sosial dengan kuntitas dan kualitas yang tidak efektif. Klien yangmengalami kerusakan interaksi sosial mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain salah satunya mengarah pada perilaku menarik diri (Townsend, 1998).

2. Tanda dan Gejala
a. Kurang spontan.
b. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
c. Ekspresi wajah kurang berseri.
d. Tidak merawat diri dan tidak memperhtikan kebersihan diri.
e. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
f. Mengisolasi diri.
g. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitarnya.
h. Asupan makanan dan minuman terganggu.
i. Retensi urin dan feses.
j. Aktivitas menurun.
k. Kurang energy (tenaga).
l. Postur tubuh berubah.
3. Rentang Respon

Respon Adaptif Respon maladaptive





Gambar 1. Rentang respon pada pasien menarik diri.

4. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
1) Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan yang harus terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Bila tugas-tugas dalam perkembangan ini tidak terpenuhi maka akan menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya akan dapat menimbulkan masalah.
2) Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam berkomunikasi sehingga menimbulkan ketidakjelasan yaitu suatu keadaan dimana seorang anggota keluarga menerima pesan yang saling bertentangan dalam waktu yang bersamaan atau ekspresi emosi yang tinggi dalam keluarga yang menghambat untuk berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga.
3) Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial.


4) Faktor biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang dapat mempengaruhi terjadinya hubungan gangguan sosial adalah otak.
b. Faktor presipitasi
1) Faktor eksternal
Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
2) Faktor internal
Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress terjadi akibat ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk mengatasinya.
5. Tindakan keperawatan untuk keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama bagi pasien untuk dapat membantu pasien mengatasi masalah isolasi sosial ini, karena keluargalah yang selalu bersama-sama dengan pasien sepanjang hari.
a. Tahapan melatih keluarga agar mampu merawat pasien isolasi sosial di rumah meliputi:
1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
2) Menjelaskan tentang:
a) Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
b) Penyebab isolasi sosial.
c) Cara-cara merawat pasien dengan isolasi sosial, antara lain:
(1) Membina hubungan saling percaya dengan pasien dengan cara bersikap peduli dan tidak ingkar janji.
(2) Memberikan semangat dan dorongan kepada pasien untuk bisa melakukan kegiatan bersama-sama dengan orang lain yaitu dengan tidak mencela kondisi pasien dan memberikan pujian yang wajar.
(3) Tidak membiarkan pasien sendiri di rumah.
(4) Membuat rencana atau jadwal bercakap-cakap dengan pasien.
3) Memperagakan cara merawat pasien dengan isolasi sosial
4) Membantu keluarga mempraktekkan cara merawat yang telah dipelajari, mendiskusikan yang dihadapi.
5) Menyusun perencanaan pulang bersama keluarga.
b. Trategi pelaksanaan keperawatan untuk keluarga
1) SP 1 Keluarga : Memberikan penyuluhan kepada keluarga tentang masalah isolasi sosial, penyebab isolasi sosial, dan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.

2) SP 2 Keluarga : Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan masalah isolasi sosial langsung dihadapan pasien.
3) SP 3 Keluarga : Membuat perencanaan pulang bersama keluarga.
D. Tinjauan Umum Tentang Dukungan Keluarga
1. Pengertian dukungan keluarga
Dukungan keluarga merupakan bagian dari dukungan sosial yang berfungsi sebagai sistem pendukung anggota-anggotanya dan ditujukan untuk meningkatkan kesehatan dan proses adaptasi. Gottlieb (2004) mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi atau nasehat verbal dan atau non verbal, bantuan nyata, atau tindakan yang diberikan oleh keakraban sosial atau berupa kehadiran dan mempunyai manfaat emosional atau berpengaruh pada perilaku penerimanya (Gottlieb, 2004).
Sedangkan menurut Rodin dan Salovey perkawinan dan keluarga barangkali merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. Setiap anggota keluarga memiliki kebutuhan dasar fisik, pribadi dan sosial. Keluarga harus berfungsi menjadi perantara bagi tuntutan-tuntutan dan harapan-harapan dari semua individu yang ada didalamnya (Smet, 2005).
Menurut Caplan (1998) menerangkan bahwa keluarga memiliki delapan fungsi suportif, termasuk diantaranya dukungan informasional (keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan disseminator/penyebar informasi tentang dunia), dukungan penilaian/appraisal (keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota), dukungan instrumental (keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit), dukungan emosional (keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi). Jadi, keluarga memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam menentukan perilaku anggota keluarganya yang sakit, bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan program penyembuhan dan pemulihan akan sangat berkurang. Namun untuk penyakit yang serius atau penyakit yang mengancam jiwa, krisis keluargapun bisa terjadi, dimana keluarga mengalami kekacauan sebentar sebagai respon terhadap kekuatan stressor.
2. Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kesehatan
Terdapat tiga mekanisme spesifik yang berpusat pada pengaruh dukungan keluarga terhadap kesehatan baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu :
a. Aspek perilaku (behavioral mediators), dimana dukungan keluarga dapat mempengaruhi perilaku seseorang untuk berubah.
b. Aspek psikologis (psychological mediators), dimana dukungan keluarga dapat membangun atau meningkatkan harga diri seseorang dan menyediakan hubungan interaksi yang saling memuaskan.
c. Aspek fisiologi (physiological mediators), dimana dukungan keluarga membantu mengatasi respon flight or flight dan memperkuat sistem imun.
3. Jenis-Jenis Dukungan Keluarga
a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan perasaan, kepedulian, motivasi dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya : umpan balik, penegasan).
b. Dukungan informasional (kognitif), mencakup memberi informasi, pengetahuan, nasehat/saran, dan petunjuk.
c. Dukungan material, mencakup bantuan langsung baik barang maupun jasa yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah.
E. Tinjauan Umum Tentang Bentuk Dukungan Keluarga
1. Perhatian
a. Pengertian
Perhatian merupakan pemusatan dan konsentrasi energi menilai dalam suatu proses kognitif yang timbul dari luar akibat suatu rangsangan. Perhatian dapat juga diartikan sebagai pemusatan tenaga psikis yang tertuju pada suatu subjek. Perhatian berkaitan dengan kesadaran (awareness) dan ingatan (memory). Perhatian juga sering disebut dengan konsentrasi (Iyus Yosep,2007).
b. Syarat perhatian agar dapat memperoleh hasil.
1) Inhibisi, disini semua rangsang yang tidak termasuk objek perhatian harus disingkirkan.
2) Apersepsi, yang dikemukakan hanya hal yang berhubungan erat dengan objek perhatian.
3) Adaptasi, alat-alat yang digunakan harus berfungsi baik karena diperlukan untuk penyesuaian terhadap objek pekerjaan.
c. Perhatian keluarga dan lingkungan.
Perhatian keluarga dan lingkungan dinilai masih kurang terhadap penderita gangguan kejiwaan, sehingga berakibat pada lambatnya proses penyembuhan. Perhatian keluarga dan lingkungan terhadap penderita sangat dibutuhkan bagi mempercepat penyembuhan penderita gangguan jiwa. Beberapa kasus menunjukkan ada pasien yang secara medis dinyatakan sembuh dan dikembalikan kepada keluarganya. Namun, setelah beberapa bulan kambuh lagi akibat kurangnya perhatian tersebut. Bahkan, tidak sedikit keluarga pasien yang tidak mau menerima anggota keluarganya setelah sembuh secara medis dari rumah sakit. Akhirnya, penyakit pasien kambuh dan terpaksa dirawat kembali ke rumah sakit. Oleh karena itu, ia berharap masyarakat agar bisa menerima para mantan pasien gangguan jiwa setelah dikembalikan ke lingkugannya masing-masing. "Mereka (penderita gangguan jiwa) itu juga manusia. Jadi perlaku-kanlah mereka secara manusiawi, perhatian, dan kasih sayang akan mempercepat penyembuhan mereka (Saifuddin AR, 2009).
Menurut Saifuddin pihaknya berupaya menjadikan suasana RSJ tidak hanya untuk pasien penderita gangguan kejiwaan, tapi juga masyarakat umum yang membutuhkan ketenangan jiwa. "Konsep ini kami targetkan pada 2012, RSJ tidak hanya bagi perawatan penderita gangguan jiwa. Tapi, juga masyarakat umum melalui penyediaan fasilitas yang membuat setiap orang merasakan tenang saat berada di rumah sakit tersebut.
2. Pengetahuan
a. Pengertian
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, yang dimaksud objek dalam pengetahuan adalah benda atau hal yang diselidiki oleh pengetahuan itu sendiri (Notoadmojo, 2005).
Selama ini masyarakat masih belum mengetahui cara penanganan anggota keluarga dengan gangguan jiwa. Hal ini karena mereka masih menganggap menderita gangguan jiwa merupakan suatu aib. Ada juga penderita gangguan jiwa yang sengaja disembunyikan pihak keluarganya. Keterlambatan penanganan atau pengobatan akan berdampak buruk bagi penderita gangguan jiwa, kekambuhan menjadi lebih sering, pengobatan menjadi semakin sulit dan akhirnya akan mengantar penderita pada keadaan kronis yang berkepanjangan.
b. Hal-hal yang perlu diketahui keluarga dalam perawatan Gangguan Jiwa
1) Klien yang mengalami gangguan jiwa adalah manusia yang sama dengan orang lainnya; mempunyai martabat dan memerlukan perlakuan manusiawi.
2) Klien yang mengalami gangguan jiwa mungkin dapat kembali ke masyarakat dan berperan dengan optimal apabila mendapatkan dukungan yang memadai dari seluruh unsur masyarakat. Pasien gangguan jiwa bukan berarti tidak dapat “sembuh”.
3) Klien dengan gangguan jiwa tidak dapat dikatakan “sembuh” secara utuh, tetapi memerlukan bimbingan dan dukungan penuh dari orang lain dan keluarga.
4) Tujuan perawatan adalah :
a) Meningkatkan Kemandirian klien.
b) Pengoptimalan peran dalam masyarakat.
c) Meningkatkan kemampuan memecahkan masalah.
5) Klien memerlukan pemenuhan kebutuhan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum dan berpakaian serta kebersihan diri dengan optimal. Keluarga berperan untuk membantu pemenuhan kebutuhan ini sesuai tahap-tahap kemandirian pasien.
6) Kegiatan sehari-hari seperti melakukan pekerjaan rumah (ringan), membantu usaha keluarga atau bekerja (seperti orang normal lainnya) merupakan salah satu bentuk terapi pengobatan yang mungkin berguna bagi klien.
7) Berilah peran secukupnya pada klien sesuai dengan tingkat kemampuan yang dimiliki. Pemberian peran yang sesuai dapat meningkatkan harga diri klien.
8) Berilah motivasi pada klien sesuai dengan kebutuhan (tidak dibuat-buat) dalam rangka meningkatkan moral dan harga diri.
9) Kembangkan kemampuan yang telah dimiliki oleh klien pada waktu yang lalu. Kemampuan masa lalu berguna untuk menstimulasi dan meningkatkan fungsi klien sedapat mungkin.
c. Tingkatan pengetahuan menurut Notoadmojo, 2005.
a) Tahu (know) : Adalah mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk dalam tingkat pengetahuan ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan , menguraikan dan sebagainya.
b) Memahami (Comprehension) : Adalah merupakan suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh terhadap objek yang dipelajari.
c) Aplikasi (Application) : Diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau atau kondisi real. Aplikasi ini dapat diartikan penggunaan hukum-hukum dan rumus, prinsip dan sebagainya.
d) Analisis (Analysis) : Merupakan kemampuan untuk menjabarkan materi atau sesuatu objek kedalam komponen-komponen, tapi masih dalam suatu struktur organisasi tersebut dan ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja dengan dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan dan sebagainya.
e) Sintesis (Synthesis) : Kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis ini suatu kemampuan untuk menyusun formulasi dari formulasi yang ada, misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkaskan, menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan yang telah ada.
f) Evaluasi (Evalution) : Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian ini berdasarkan kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. Pengetahuan seseorang terhadap suatu objek dapat berubah dan berkembang sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, pengalaman dan tinggi rendahnya mobilitas, informasi tentang objek tersebut.
3. Sosial Ekonomi
a. Pengertian
Wesbrook (1984) mengatakan bahwa orang-orang dengan status sosial ekonomi rendah, kurang aktif dan lebih fatalistis atau respon menolak bila dibandingkan dengan orang yang mempunyai status sosial ekonomi yang tinggi.
Menurut Roy yang dikutip oleh Nursalam, 2003 dalam mengatasi respons psikososial seperti kecemasan digunakan istilah mekanisme koping yaitu sebagai suatu sistem adaptasi. Dan tingkat adaptasi tersebut tergantung dari stimulus yang didapat berdasarkan kemampuan individu.
Status sosial ekonomi seseorang tidak didasarkan semata-mata pada penghasilan tetapi juga termasuk faktor tertentu seperti pendidikan, pekerjaan dan gaya hidup. Insiden penyakit mental dipengaruhi oleh status sosioekonomi. Terdapat hubungan yang positif antara status sosioekonomi dan kesehatan mental, dengan demikian orang dengan status sosioekonomi tinggi mempunyai kesehatan mental yang lebih baik dibandingkan orang dengan status sosioekonomi rendah. Dengan memperhatikan insiden psikopatologi, beberapa penelian telah menemukan persentase gangguan bipolar I yang sedikit lebih tinggi pada orang dengan status sosioekonomi tinggi dan jumlah skisofrenia yang lebih besar dari biasanya pada orang dalam kelompok status sosioekonomi yang rendah.
b. Hubungan perawat dan pasien gangguan jiwa
Hubungan saling percaya antara perawat dan pasien merupakan dasar utama untuk membantu klien mengungkapkan, mengenal perasaannya, mengidentifikasi kebutuhan dan masalahnya. Proses ini harus dilalui oleh pasien dan keluarga agar dimasa yang akan datang (rumah) keluarga dapat membantu pasien dengan cara yang sama. Melibatkan keluarga dalam perawatan di Rumah Sakit hanya dapat dicapai dengan menggunakan proses keperawatan. Apabila tidak dilibatkan akibatnya keluarga tidak mempunyai pengetahuan tentang masalah klien dan cara penanggulangannya.
Agar keluarga dapat menjadi sumber kesehatan yang efektif dan utama, keluarga harus terlibat dalam tim perawatan kesehatan dan keseluruhan proses terapeutik. Hal ini berarti adanya hubungan yang adil dengan mereka yang memberikan perawatan kesehatan, dimana kedua pihak tersebut dapat menegosiasikan dan mengungkapkan kebutuhan.
c. Tindakan keperawatan terhadap keluarga
1) Menyertakan keluarga dalam rencana perawatan pasien.
2) Menjelaskan pola prilaku pasien dan cara penanganannya.
3) Membantu keluarga berperilaku terapeutik yang dapat menolong pemecahan masalah pasien.
4) Mengadakan pertemuan antar keluarga pasien, diskusi, membagi pengalaman, mengantisipasi masalah pasien.
5) Melakukan terapi keluarga.
6) Menganjurkan kunjungan keluarga yang teratur.
F. Kerangka Konsep Penelitian
Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan perawatan utama bagi klien dengan memberikan dorongan dan motivasi yang cukup pada pasien dalam proses penyembuhan. Hal yang penting dalam penyembuhan adalah dukungan dari keluarga penderita yang berupa perhatian, karena jika dukungan ini tidak diperoleh bukan tidak mungkin para penderita gangguan jiwa mengalami kembali. Pengetahuan keluarga juga sangat penting tentang penyakit pasien dalam proses penyembuhannya.
Dukungan keluarga dengan kemampuan sosialisasi pasien yaitu perhatian, pengetahuan dan sosial ekonomi, untuk lebih jelasnya dapat dilihat skema kerangka konsep penelitian sebagai berikut :





Keterangan :
: Variabel indevenden
: Variabel devenden
Gambar II. Keranggka konsep hubungan dukungan keluarga terhadap proses penyembuhan pasien.
G. Hipotesis Penelitian
1. Ada hubungan antara perhatian dengan kemampuan sosialisasi pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.
2. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kemampuan sosialisasi pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.
3. Ada hubungan antara sosial ekonomi dengan kemampuan sosialisasi pasien gangguan jiwa di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.
H. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif
1. Perhatian
Perhatian adalah suatu bentuk pemusatan tenaga psikis keluarga pada anggota keluarga yang sakit (gangguan jiwa).
Kriteria objektif :
a. Kurang : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasil ≤ 25.
b. Baik : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasil >25.
2. Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui keluarga tentang pengertian gangguan jiwa, penyebab, tanda/gejala, proses perawatan pasien gangguan jiwa dan upaya yang dilakukan dalam mengatasi, mencegah masalah gangguan jiwa.
Kriteria objektif :
a. Kurang : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasil ≤ 15.
b. Baik : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasil >15.

3. Sosial Ekonomi
Sosial Ekonomi adalah respon keluarga yang muncul terhadap beban biaya yang digunakan untuk berobat, kemanpuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan perawatan dan pengobatan pasien yang sakit.
Kriteria objektif :
a. Kurang : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasi ≤ 5.
b. Baik : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasil >5.
4. Kemampuan Sosialisasi
Kemampuan sosialisasi adalah merupakan kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam menjalani hubungan saling berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain.
Kriteria Objektif:
a. Kurang : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasi ≤ 25.
b. Baik : Apabila dari seluruh pertanyaan diperoleh hasil >25.



BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah analitik dengan metode Cross Sectional, yaitu jenis penelitian yang menekankan pada waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen dilakukan hanya satu kali dalam waktu yang bersamaan, yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan dukungan keluarga dengan proses penyembuhan pasien di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi merupakan keseluruhan individu atau obyek yang diteliti yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Menurut Sugiyono populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek yang mempunyai Kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua keluarga dari anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa khususnya pada klien menarik diri dan dirawat di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan.



2. Sample penelitian
Sample terdiri dari bagian populasi yang dipergunakan sebagai subjek peneliti melalui sampling. Sedangkan sampling adalah proses mengetahui populasi yang dapat mewakili populasi yang ada. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode Nonprobability Sampling dengan teknik sampling yang digunakan adalah Aksidental Sampling yaitu cara pengambilan sample dengan secara kebetulan bertemu, selama waktu penelitian (Nursalam, 2003).
Adapun respon yang digunakan sebagai sampel pada penelitian ini adalah yang memenuhi kriteria :
a. Kriteria Inklusi
1) Keluarga yang memiliki anggota keluarga mengalami gangguan jiwa
2) Bersedia menjadi responden
3) Keluarga yang ditemui berumur 15 tahun ke atas
4) Keluarga yang dapat membaca dan menulis
b. Kriteria Eksklusi
1) Tidak bersedia menjadi responden
2) Keluarga yang ditemui berumur dibawah 15 tahun
3) Keluarga yang tidak dapat membaca dan menulis.


Sampel ditentukan dengan rumus menurut Notoatmodjo Soekidjo (2005).
N
n =
1 + N (d)2
232
n =
1 + 232 (0.1)2
232
n =
3.32
n = 70
keterangan :
n = Besar Sampel
N = Besar Populasi
d = Tingkat Signifikan (0.1)
Jadi besarnya sampel yang akan diteliti adalah 70 responden.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan dari bulan Oktober - November 2010.
D. Pengumpulan data
1) Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil jawaban kuesioner yang diisi langsung oleh responden yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan literatur.
Untuk menilai perhatian responden, kuesioner menggunakan skala likert, dengan format 10 pernyataan yang diisi oleh responden dengan ketentuan skor masing-masing pertanyaan, SS = 4, S = 3, TS = 2, STS = 1 dimana :
Median = Skor tertinggi + skor terendah dibagi 2
Median = (4×10) + (1×10) : 2
Median = 50 : 2 = 25
Jadi, perhatian dilakukan dengan baik apabila skor > 25 dan dilakukan kurang apabila skor ≤ 25.
Untuk menilai pengetahuan responden tentang menarik diri, menggunakan kuesioner dengan bentuk pernyataan multiple coice berjumlah 10 pertanyaan yang diisi langsung oleh responden, dimana jika responden menjawab benar diberi skor 2 dan jika menjawab salah diberi skor 1 sehingga :
Median = Skor tertinggi + skor terendah dibagi 2
Median = (2×10) + (1×10) : 2
Median = 30 : 2 = 15
Jadi, pengetahuan dikatakan dengan baik apabila skor > 15 dan dikatakan kurang baik apabila skor ≤ 15.
Untuk menilai sosial ekonomi responden, kuesioner menggunakan skala guttman, dengan format 10 pernyataan yang diisi oleh responden dengan ketentuan skor masing-masing pertanyaan, ya = 1, tidak = 0, dimana :
Median = Skor tertinggi + skor terendah dibagi 2
Median = ( 1×10) + (0×10) : 2
Median = 10 : 2 = 5
Jadi, sosial eknomi psikososial dilakukan baik apabila skor > 5 dan dilakukan kurang apabila ≤ 5.
Untuk menilai kemampuan sosialisasi, peneliti menggunakan lembar observasi dengan menggunakan rating scale, dengan format 10 kriteria yang diisi oleh peneliti dengan ketentuan skor masing-masing 4 = baik sekali, 3 = baik, 2 = cukup, 1 = tidak baik dimana :
Median = Skor tertinggi + skor terendah dibagi 2
Median = ( 4×10) + (1×10) : 2
Median = 50 : 2 =25
Jadi, kemampuan sosialisasi dilakukan baik apabila skor > 25 dan dilakukan kurang apabila ≤ 25.
2) Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari buku rekam medis Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Selawesi Selatan tentang jumlah kunjungan keluarga pertahun mulai tahun 2008, 2009 dan triwulan tahun 2010.




E. Instrumen Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan instrumen berupa kuisioner dan observasi yang digunakaan untuk memperoleh informasi dari responden tentang hal-hal yang ingin diketahui.
Dibagian awal terdiri dari identitas responden yang terdiri dari inisial, umur, pendidikan, pekerjaan.
Untuk bagian kedua terdiri atas variabel independen yang ingin diteliti yaitu perhatian terdiri atas 10 pernyataan dengan menggunakan skala likert dengan pemberian alternative jawaban SS=4; S=3; TS=2; STS=1, pengetahuan terdiri atas 10 pertanyaan dengan menggunakan multiple coice dengan pemberian alternative jawaban benar = 2 dan salah = 1 dan sosial ekonomi terdiri dari 10 pernyataan dengan menggunakan skala Guttman dengan pemberian alternative jawaban ya = 1 dan tidak = 0 dan kemampuan sosialisasi terdiri atas 10 kriteria dengan menggunakan rating scale dengan alternative jawaban 4 = sangat baik; 3 = cukup baik; 2 = tidak baik; 1 = sangat tidak baik.
F. Pengolahan Data
1) Editing
Dilakukan setelah data terkumpul untuk memeriksa kelengkapan data, kesinambungan data dan memeriksa keseragaman data.
2) Koding
Dilakukan untuk memudahkan pengolahan data yaitu memberikan simbol-simbol dari setiap jawaban yang diberikan oleh responden.
3) Tabulasi
Mengelompokkan data kedalam suatu tabel yang memuat sifat masing-masing variabel dan sesuai dengan tujuan penelitian.
4) Analisa Data
Setelah data diolah kemudian dianalisa dengan menggunakan bantuan komputer yaitu dengan program SPSS (Statistical Package for Social Science) versi 16 sajikan dalam bentuk tabel dan narasi adapun analisa yang digunakan yaitu :
a. Analisa Univariat
Analisa univariat digunakan untuk memperoleh gambaran umum dengan cara mendiskripsikan tiap-tiap variabel yang digunakan dalam penelitian yaitu dengan melihat gambaran distribusi frekuensinya.
b. Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan dependen dengan menggunakan uji statistik chi- Square. Dari hasil uji statistik tersebut dapat diketahui tingkat signifikan hubungan antara kedua variabel tersebut.






G. Etika Penelitian
1. Informed Consent (surat persetujuan)
Sebelum menjadi responden, peneliti menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Setelah responden mengerti maksud dan tujuan penelitian, responden menandatangani lembar perstujuan. Bila responden menolak, maka peneliti tidak dapat memaksa dan menghormati hak-hak yang responden.
2. Anonymity (Tanpa Nama)
Untuk menjaga kerahasiaan, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden , tetapi lembar tersebut diberi kode.
3. Confidientiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi yang telah diberikan oleh responden dijamin dan menjadi tanggung jawab peneliti, data hanya akan disajikan kepada kelompok tertentu yang berhubungan dengan penelitian ini.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2010 mulai Oktober sampai November 2010 dengan mengambil sampel sebanyak 70 orang. Data diolah dan dianalisis disesuaikan dengan tujuan penelitian. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk tabel yang dilengkapi dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Karakteristik Responden
a. Umur Responden
Tabel. 4. 1
Distribusi Responden Berdasarkan Umur di Rumah Sakit Khusus
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010

Umur Frekuensi
(n) Persentase
(%)
20 – 24 15 21.4
25 – 30 16 22.9
31 – 34 16 22.9
>35 23 32.9
Total 70 100.0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.1 di atas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, sebagian besar responden berada pada kisaran umur >35 tahun sebanyak 23 orang (32,9%), Sedangkan yang terendah berada pada kisaran umur 20-24 tahun sebanyak 15 orang (21,4%).
b. Pendidikan Responden
Tabel. 4. 2
Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010

Pendidikan Frekuensi
(n) Persentase
(%)
SD 33 47.1
SMP 8 11.4
SMU 14 20.0
D3 5 7.1
Sarjana 10 14.3
Total 70 100.0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.2 di atas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, tingkat pendidikan responden paling tinggi adalah SD sebanyak 33 orang (47,1%), Sedangkan pendidikan yang terendah D3 sebanyak 5 orang (7,1%).

c. Pekerjaan Responden
Tabel. 4. 3
Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit
Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010

Umur Frekuensi
(n) Persentase
(%)
IRT/Petani 16 22.9
Wiraswasta 32 45.7
Pelajar 6 8.6
PNS 16 22.9
Total 70 100.0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.3 di atas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, pekerjaan responden paling banyak adalah wiraswasta sebanyak 32 orang (45,7%), Sedangkan pekerjaan yang paling sedikit adalah pelajar sebanyak 6 orang (8,6%).







2. Analisis Univariat Variabel Penelitian
a. Perhatian
Tabel. 4. 4
Distibusi responden berdasarkan Perhatian di Rumah Sakit Khusus
Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010.

Perhatian Frekuensi
(n) Persentase
(%)
Kurang 3 18.6
Baik 57 81.4
Total 70 100.0
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.4 diatas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, perhatian Baik sebanyak 57 (81,4%), sedangkan yang perhatian kurang sebanyak 13 (18,6%).
b. Pengetahuan
Tabel.4. 5
Distribusi responden berdasarkan Pengetahuan di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010

Pengetahuan Frekuensi
(n) Persentase
(%)
Kurang 31 44.3
Baik 39 55.7
Total 70 100.0
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.4 diatas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, pengetahuan responden yang baik sebanyak 39 orang (55,7%), sedangkan pengetahuan kurang yang sebanyak 31 orang (44,3%)
c. Sosial Ekonomi
Tabel. 4. 6
Distrbusi responden berdasarkan sosial ekonom di Rumah Sakit Khusus
Daerah Provinsi Sulawesi SelatanTahun 2010

Sosial ekonomi Frekuensi
(n) Persentase
(%)
Kurang Baik 33 47.1
Baik 37 52.9
Total 70 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.6 diatas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, sosial ekonomi responden yang baik sebanyak 37 orang (52,9%), sedangkan yang kurang sebanyak 33 orang (47,1%).
d. Kemampuan Sosialisasi
Tabel 4.7
Distribusi Responden Berdasarkan Kemampuan Sosialisasi di
Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2010

Kemampuan Sosialisasi Frekuensi
(n) Persentase
(%)
Kurang 19 27.1
Baik 51 72.9
Total 70 100
Sumber: Data Primer
Berdasarkan tabel 4.7 diatas, diperoleh jumlah responden sebanyak 70 orang menunjukkan bahwa, responden yang kemampuan sosialisasinya baik sebanyak 51 orang (72,9%), sedangkan yang kurang sebanyak 19 orang (27,1 %).
3. Analisis Bivariat Variabel Penelitian
a. Hubungan Antara Perhatian dengan Kemampuan Sosialisasi
Tabel. 4. 8
Distribusi Responden Berdasarkan Perhatian Dengan Kemampuan Sosialisasi di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2010.

Perhatian Kemampuan Sosialisasi Total P
Value
Kurang Baik
n % n % n %
Kurang 8 61.5 5 38.5 13 18.6
0.004
Baik 11 19.3 46 80.7 57 81.4
Total 19 27.1 51 72.9 70 100












Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.8 diatas, dari hasil penelitian di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan didapatkan bahwa dari 13 responden yang perhatian kurang, ada sebanyak 8 orang (61.5%) yang kemampuan sosialisasinya kurang, sedangkan dari 57 responden yang asupan perhatian baik, ada sebanyak 11 orang (19.3%) yang kemampuan sosialisasi kurang.
Hasil Uji statistik didapatkan nilai P = 0,004 yang berarti < dari nilai α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara perhatian dengan kemampuan sosialisasi responden.
Analisis keeratan hubungan dua variabel didapatkan nilai OR = 6.691 artinya yang perhatian kurang mempunyai peluang 6.691 kali berpeluang kemampuan sosialisasinya kurang di banding dengan yang perhatian baik.
b. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Kemampuan Sosialisasi.
Tabel. 4. 9
Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Dengan Kemampuan sosialisasi di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010.

Pengetahuan Kemampuan Sosialisasi Total P
Value
Kurang Baik
n % n % n %
Kurang 13 41.9 18 58.1 31 44.3
0,027
Baik 6 15.4 33 84.6 39 55.7
Total 19 27.1 51 72.9 70 100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.9 diatas, dari hasil penelitian di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan didapatkan bahwa, dari 31 responden yang pengetahuan kurang, ada sebanyak 13 orang (41.9%) yang kemampuan sosialisasinya kurang, sedangkan dari 39 responden yang pengetahuan baik, ada sebanyak 6 orang (15.4%) yang kemampuan sosialisasinya kurang.
Hasil Uji statistik didapatkan nilai P = 0,027 yang berarti < dari nilai α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kemampuan sosialisasi.
Analisis keeratan hubungan dua variabel didapatkan nilai OR = 3.972 artinya yang pengetahuannya kurang mempunyai peluang 3.972 kali berpeluang kemampuan sosialisasi kurang dibanding dengan pengetahuan baik.
c. Hubungan Antara Sosial Ekonomi dengan Kemampuan Sosialisasi.
Tabel. 4. 10
Distribusi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi Dengan Kemampuan Sosialisasi di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2010.

Sosial Ekonomi Kemampuan Sosialisasi Total P
Value
Kurang Baik
n % n % n %
Kurang 14 42.4 19 57.6 33 47.1
0,014
Baik 5 13.5 32 86.5 37 52.9

Total
19
27.1
51
72.9
70
100
Sumber: Data Primer

Berdasarkan tabel 4.10 diatas, dari hasil penelitian di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan didapatkan bahwa dari 33 responden yang social ekonomi kurang, ada sebanyak 14 orang (42.4%) yang kemampuan sosialisasi kurang, sedangkan dari 37 responden yang sosial ekonomi baik, ada sebanyak 5 orang (13.5%) yang kemampuan sosialisasinya kurang.
Hasil Uji statistik didapatkan nilai P = 0,014 yang berarti < dari nilai α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara social ekonomi dengan kemampuan sosialisasinya.
Analisis keeratan hubungan dua variabel didapatkan nilai OR = 4.716 artinya yang social ekonominya kurang baik mempunyai peluang 4.716 kali berpeluang kemampuan sosialisasinya kurang dibanding dengan sosial ekonomi baik.
B. Pembahasan
1. Hubungan Antara Perhatian dengan Kemampuan Sosialisasi
Perhatian merupakan pemusatan konsentrasi energi menlai dalam suatu proses kognitif yang timbul dari luar akibat suatu rangsangan. Agar supaya suatu perhatian memperoleh hasil, ada tiga syarat yang harus dipenuhi menurut (Iyus Yosep 2007) yaitu : Inhibisi disini semua rangsangan yang tidak termasuk objek perhatin harus disingkirkan, Apersepsi yang dikemukakan hanya hal yang berhubungan erat dengan objek perhatian, Adaptasi alat-alat yang digunakan harus berfungsi baik karena diperlukan untuk penyesuaian terhadap objek pekerjaan.
Perhatian dapat diartikan sebagai pemusatan tenaga psikis yang tertujupada suatu subjek. Perhatian berkaitan dengan kesadaran (awareness) dan ingatan (memory). Perhatian juga sering disebut dengan konsentrasi, yang dapat dibedakan menjadi bermacam-macam berdasarkan intensitasnya yaitu banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai suatu aktivitas atau pengalaman batin, maka perhatian dibedakan menjadi perhatian intensif dan perhatian tidak intensif. Makin banyak kesadaran yang menyertai suatu aktivitas atau pengalaman batin, maka perhatian tersebut semakin intensif.
Menurut Bimo Walgito menyatakan bahwa dukungan dari segi pemberian motivasi dan perhatian sangat dibutuhkan orang lain untuk kehidupan dan kesehatan. Jika seseorang terpuruk atau dalam keadaan sakit parah maka hal yang terpenting yang dia butuhkan adalah motivasi dan perhatian, untuk membangkitkan semangat serta mempercepat proses pemulihan seseorang jika dalam keadaan sakit.
Menurut asumsi peneliti, apabila salah satu anggota keluarga menderita gangguan jiwa maka hal ini merupakan masalah kesehatan yang harus dihadapi oleh keluarga, apabila keluarga memiliki motivasi, perasaan serta perhatian yang tinggi maka akan mengurangi bahkan akan menyelesaikan permasalahan yang ada. Sesuai dengan hasil penelitian lebih banyak keluarga yang memiliki perhatian yang tinggi sehingga keluarga tersebut dapat menyelesaikan masalah yang sudah menganggu fungsi sosial keluarga.
Dari hasil penelitian di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan diketahui bahwa berdasarkan hasil penelitian 13 responden yang memiliki perhatian kurang ada sebanyak 8 (61.5%) orang yang kemampuan sosialisasinya kurang sedangkan ada sebanyak 5 (38.5%) orang yang kemampuan sosialisasinya baik. Hal ini disebabkan karena keluarga kurang memberi perhatian serta motivasi kepada pasien sehingga masih ada pasien yang memiliki kemampuan sosialisasi kurang, hal tersebut dapat memotivasi keluarga untuk sering memberi perhatian yang lebih pada pasien sehingga kemampuan sosialisasinya akan lebih baik.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian dari 57 responden yang memiliki perhatian baik ada sebanyak 11 (19.3%) orang yang kemampuan sosialisasinya kurang sedangkan ada sebanyak 46 (80,7%) orang yang kemampuan sosialisasinya baik. Hal ini disebabkan keluarga dalam hal ini responden memiliki perhatian yang baik terhadap pasien, dan responden mampu menerima keluarganya yang menderita gangguan jiwa, hal ini yang menyebabkan kemampuan sosialisasi pada pasien lebih baik.
Hasil Uji statistik didapatkan nilai P = 0,004 yang berarti < dari nilai α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara perhatian dengan kemampuan sosialisasi responden.
Analisis keeratan hubungan dua variabel didapatkan nilai (OR) = 6.691 artinya keluarga yang perhatiannya kurang mempunyai peluang 6.691 kali berpeluang mengalami kemampuan sosialisasi kurang di banding dengan yang perhatian baik.
2. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Kemampuan Sosialisasi.
Pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, yang maksud objek dalam pengetahuan adalah benda atau hal yang di selidiki oleh pengetahuan itu sendiri.
Menurut Mubarok, tingkat pengetahuan keluarga tentang sehat sakit mempengaruhi perilaku keluarga dalam menyelesaikan masalah kesehatan keluarga semakin cukup dan baik pengetahuan keluarga, maka keluarga tersebut dapat menyelesaikan masalah kesehatan, dan semakin kurang tingkat pengetahuan keluarga, maka keluarga tersebut akan semakin sulit menyelesaikan masalah kesehatan.
Menurut Suliswati, individu dapat menanggulangi masalah kesehatan dengan mengambil sumber koping yang diantaranya adalah aset ekonomi, kemampuan dalam memecahkan masalah, dukungan sosial budaya yang diyakini. Bila mengalami, maka ia akan mencoba menetralisasi, mengingkari dengan mengembangkan pola kopingnya.
Menurut asumsi peniliti, penyakit yang diderita oleh pasien saat ini merupakan masalah kesehatan yang harus dihadapi oleh keluarga, apabila keluarga memiliki pengetahuan yang baik tentang menarik diri dan cara merawatnya, maka keluarga dapat menyelesaikan masalah kesehatan tersebut, oleh karena itu sesuai dengan hasil penelitian lebih banyak keluarga yang memiliki pengetahuan yang baik sehinggga keluarga dapat menyelesaikan masalah tersebut sehingga kemampuan sosialisasi pasien akan lebih baik.
Dari hasil penelitian di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan didapatkan bahwa, berdasarkan hasil penelitian terdapat 31 responden yang memiliki pengetahuan kurang ada sebanyak 13 (41.9%) orang yang kemampuan sosialisasinya kurang hal ini disebabkan kerena keluarga yang sudah memiliki pengetahuan kurang ditambah lagi kurangnya dukungan dalam hal ini motivasi serta perhatian pada pasien sehingga menyebabkan kemampuan sosialisasi kurang. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan kurang sebanyak 18 (58.1%) orang yang kemampuan sosialisasinya baik. Hal ini disebabkan walaupun pengetahuan keluarga kurang tetapi motivasi serta perhatian keluarga baik sehingga pasien memiliki kemampuan sosialisasinya baik.
Selain itu, dari hasil penelitian diketahui 39 responden yang memiliki pengetahuan baik ada sebanyak 6 (15.4%) orang yang kemampuan sosialisasinya kurang sedangkan ada sebanyak 33 (84.6%) orang yang mempunyai kemampuan sosialisasinya baik. Hal ini disebabkan masih ada keluarga yang memiliki pengetahuan kurang dan ketidakmampuan keluarga dalam control kognitif, mekanisme koping yang kurang. Penggunaan mekanisme koping yang maladaptive menyebabkan keluarga tidak mampu menerima keadaan keluarganya yang menderita gangguan jiwa, sehingga keluarga kurang memotivasi serta memberi perhatian yang lebih kepada pasien. Selain itu persepsi keluarga tentang masalah yang dialami masih kurang sehingga keluarga merasa tidak mampu menyelesaikan masalah kesehatan tersebut. Berbeda dengan keluarga yang memiliki pengetahuan serta motivasi yang tinggi pada pasien, sehingga keluarga dapat menyelesaikan masalah kesehatan dilihat dari banyak pasien yang mengalami kemampuan sosialisasi yang baik.
Hasil Uji statistik didapatkan nilai P = 0,027 yang berarti < dari nilai α = 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan kemampuan sosialisasi.
Analisis keeratan hubungan dua variabel didapatkan nilai OR = 3.972 artinya keluarga yang pengetahuannya kurang mempunyai peluang 3.972 kali berpeluang memiliki kemampuan sosialisasi kurang dibanding dengan pengetahuan baik.
3. Hubungan Antara Sosial Ekonomi dengan Kemampuan Sosialisasi.
Wesbrook (2003) mengatakan bahwa orang-orang dengan status sosial ekonomi rendah, kurang aktif dan lebih lebih fatalistis atau respon menolak bila dibandingkan orang yang status sosial ekonomi tinggi.
Menurut Tri Rusmi (2004), bahwa seseorang yang memiliki ekonomi atau materi yang berlebih, dukungannya terhadap orang lain bahkan dengan anggota keluarganya akan lebih tinggi bila dibandingkan seseorang yang ekonominya rendah.
Menurut Sarlito Wirawan (2004), bahwa dalam pemberian dukungan kepada seseorang yang sedang sakit, sosial ekonomi merupakan satu poin yang sangat penting dibutuhkan untuk membantu agar penyembuhan berlangsung lebih cepat dan baik.
Menurut asumsi peneliti, apabila salah satu anggota keluarga menderita gangguan jiwa maka hal ini merupakan masalah yang harus dihadapi oleh keluarga, apabila keluarga memiliki social ekonomi yang cukup untuk membantu keluarganya yang sedang sakit, maka akan membantu mengurangi bahkan akan menyelesaikan permasalahn yang ada. Sesuai dengan hasil penelitian lebih banyak keluarga yang memiliki sosial ekonomi yang cukup dapat menyelesaikan masalah tersebut yang sudah mengganggu fungsi sosial keluarganya.
Dari hasil penelitian diketahui 33 responden yang memiliki sosial ekonomi kurang ada sebanyak 14 (42.4%) orang yang kemampuan sosialisasinya kurang. Ini sangat jelas karena keluarga tidak mengupayakan mencari biaya demi kesembuhan pasien, kalaupun keluarga mengupayakan untuk mencari biaya pengobatan tetap tidak cukup karena penghasilan yang didapat keluarga digunakan untuk keperluan sehari-hari. Keluarga hanya mengharapkan perawatan yang baik dari pihak rumah sakit sehingga hal tersebut yang menyebabkan kemampuan sosialisasi pasien lebih lambat bila dibandingkan dengan keluarga yang memiliki sosial ekonomi yang cukup. Sedangkan keluarga yang memiliki sosial ekonomi yang kurang ada sebanyak 19 (57.6%) orang yang kemampuan sosialisasinya baik, hal ini disebabkan karena keluarga yang memiliki ekonomi yang kurang tetapi sebisa mungkin keluarga memenuhi kebutuhan pasien serta mengusahakan biaya demi kesembuhan pasien.
Selain itu, berdasarkan dari hasil penelitian terdapat 37 responden yang sosial ekonominya baik ada sebanyak 5 (13.5%) orang yang kemampuan sosialisasinya kurang, ini disebabkan karena keluarga yang memiliki ekonomi baik tetapi tidak mampu memenuhi kebutuhan pasien selama perawatan. Sedangkan responden yang memiliki sosial ekonomi yang baik ada sebanyak 32 (86.5%) orang yang kemampuan sosialisasinya baik, hal ini disebabkan keluarga dalam hal ini adalah responden memiliki ekonomi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pasien selama perawatan. Disamping itu responden mampu menerima keluarganya yang menderita gangguan jiwa, hal ini yang menyebabkan penyembuhan pada pasien lebih banyak dan lebih baik.
Hasil Uji statistik didapatkan nilai P = 0,014 yang berarti < dari nilai α = 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara social ekonomi dengan kemampuan sosialisasinya.
Analisis keeratan hubungan dua variabel didapatkan nilai OR = 4.716 artinya yang social ekonominya kurang baik mempunyai peluang 4.716 kali berpeluang kemampuan sosialisasinya kurang dibanding dengan sosial ekonomi baik.
C. Keterbatasan Penelitian
1. Kurangnya kemampuan yang dimiliki peneliti, baik dalam hal pengetahuan maupun skill dalam melakukan penelitian. Hal ini disebabkan karena penelitian ini merupakan pengalaman pertama bagi peneliti sehingga hasil penelitian memiliki banyak kekurangan.
2. Pengetahuan peneliti tentang metodologi masih sangat kurang sehingga masih banyak kendala yang dihadapi.
3. Keterbatasan peneliti untuk mengukur observasi yang lebih intensif sehingga hasil penelitian tidak maksimal.
4. Proses pengurusan surat izin yang memakan waktu lama sehingga terjadi keterlambatan dalam penyususna skripsi ini.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Ada hubungan antara dukungan keluarga yaitu perhatian dengan kemampuan sosialisasi pada pasien menarik diri di poli jiwa di RSKD Provinsi Sul-Sel. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, apabila keluarga memiliki motivasi atau perhatian yang tinggi maka akan mengurangi bahkan dapat menyelesaikan masalah yang ada.
2. Ada hubungan antara dukungan keluarga yaitu sosial ekonomi dengan kemampuan sosialisasi pada pasien menarik diri di poli jiwa di RSKD Provinsi Sul-Sel. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yaitu apabila keluarga memiliki sosial ekonomi yang cukup untuk membantu keluarganya yang sakit, maka akan membantu mengurangi disfungsi sosial keluarga sehingga kemampuan sosialisasinya akan lebih baik.
3. Ada hubungan antara dukungan keluarga yaitu pengetahuan dengan kemampuan sosialisasi pada pasien menarik diri di poli jiwa di RSKD Provinsi Sul-Sel. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian, apabila keluarga memiliki pengetahuan yang baik tentang menarik diri dan cara merawatnya, maka keluarga dapat menyelesaikan masalah kesehatan yang sedang diderita oleh pasien sehingga kemampuan sosialisasinya akan lebih baik.
B. Saran
1. Bagi Instansi Rumah Sakit
Diharapkan agar para perawat dapat lebih meningkatkan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang menarik diri maupun gangguan jiwa lainnya.
2. Bagi Perawat
Diharapkan agar hasil penelitian ini dapat digunakan oleh perawat, agar nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan yang profesional pada keluarga pasien menarik diri maupun pasien gangguan jiwa lainnya dengan melibatkan keluarga dalam setiap proses keperawatan pasien, agar keluarga mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi pasien dan penanganannya, menyadari peran dan tanggung jawabnya dalam proses penyembuhan pasien, serta dapat menjadi pendukung utama dalam proses pemulihan pasien.
3. Bagi Keluarga
Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini, keterlibatan keluarga dalam proses perawatan guna penyembuhan pasien menarik diri dapt meningkat sehingga keluarga lebih memahami keadaan anggota keluarganya, dapat merawatnya ketika diijinkan pulang dan sedapat mungkin mempertahankan anggota keluarganya dimasyarakat.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti berikutnya meneliti hubungan yang lain untuk mempercepat proses penyembuhan pasien selain yang diteliti oleh peneliti saat ini, kemudian diharapkan waktu dan jumlah sampel dapat ditambah lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hafizh, 2008. Kemampuan Berkomunikasi. (On Line), (www.google.com) diakses 09 Oktober 2010.

Budi Anna Keliat, 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa Edisi. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Balitbang, 2007. Workshop Standar Proses Keperawatan Jiwa. Bogor

Caplan Halord, Sadock Benjamin, 1998. Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. EGC. Jakarta.

Gail W. Stuar, 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 5. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Gottlieb B. H, 2004. Sosial Support Strategis. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta.

Harian Sinar Indonesia, 2009. Pasien Jiwa. (on line), (http://webmaster.Stimik Dan Amik Logika, akses 17 Juni 2010).

Iyus Yosep, 2007. Keperawatan Jiwa. Refika Aditama. Bandung.
Maramis, 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press. Surabaya.

Marilyn Friedman, 1998. Keperawatan Keluarga Teori Dan Praktek. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Numberi Garson, 2009. Hubungan Dukungan Keluaga Terhadap Penyembuhan Pasien. Universitas Indonesia Timur, Makassar.

Nuraeni, 2009. Tentang Kesembuhan Penyakit. (On Line) (http://goole.com akses 17 Juni 2010).

Nursalam, 2003. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu keperawatan. Salemba medik. Jakarta.
Notoadmojo, 2005. Administrasi Ilmu kesehatan. Arcan. Jakarta.
Reta & Budiana, 2008. Naskah publikasi. (Online) http://Dukungan Keluarga askes17 Juni 2010.

Saifuddin AR, 2009. Pengidap Gangguan Jiwa Kurang Diperhatikan. (Onlien) Http://Perhatian Pada Gangguan Jiwa akses 06 juli 2010.

Santoso & Purbayu Budi, 2007. Analisis Statistik Dengan Microsoft Excel Dan SPSS Edisi 1. Andi Offset. Jogyakarta.

Sheila, L dkk, 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC. Jakarta.
Siti Saidah, 2003. Kesehatan Jiwa. (Online) http://www.Kesehatan-Jiwa.pdf akses 15 Juni 2010.

Smet B, 2005. Psikologi Kesehatan. PT. Grasindo. Jakarta.
Suprajitno, 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Sunaryo, 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. Penerbit Buku Kedokteran. EGC. Jakarta.

Suliswati dkk, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC. Jakarta.

Tappen DKK,1995. Komunikasi Keperawatan. (Online) (www.google.co.id) diakses 09 Oktober 2010.

Townsend, Mary C, 1998. Diagnosa Keperawatan Psikiatrik. Edisi 3. Jakarta: EGC

Tidak ada komentar: